Kecenderungan Menonton Video Pornografi Rawan Membuat Orang Lakukan Penyimpangan Seksual


Akurasi.id, Samarinda – Kasus kekerasan seksual terhadap anak seolah menjadi masalah sosial tersendiri di Kota Samarinda. Dalam beberapa bulan terakhir saja, sudah ada sejumlah tindakan asusila yang masuk meja kepolisian. Terbaru, seorang pria berinisial AR (48) asal Kecamatan Sambutan dilaporkan karena telah menyetubuhi ponakannya sendiri berinisial KR (15), Selasa (3/3/20) lalu.
baca juga : Pengakuan Paman yang Tega Setubuhi Ponakan Sendiri Berulang Kali di Samarinda
Maraknya kasus tindakan asusila di Kota Taman –sebutan Samarinda-, diakui psikolog Ayunda Ramadhani. Dosen asal Universitas 17 Agustus (Untag) Samarinda itu menyebut, kekerasan seksual terhadap anak memang menjadi persoalan sosial tersendiri yang harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah setempat.
Tindakan asusila yang dilakukan AR kepada KR sebagai keponakannya sendiri dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal. Secara psikologis, dapat dikatakan sebagai perilaku menyimpang. Tidak normal dan lazim.
“Penyebabnya memang banyak. Misalnya karena adiksi pornografi. Tidak menutup kemungkinan, ada kecenderungan si paman (AR) mengalami kecanduan adiksi pornografi,” kata dia kepada media, Sabtu (7/3/20).
Perilaku menyimpang pelaku juga dapat dikarenakan adanya gangguan kejiwaan. Dan jika itu terjadi, maka pihak kepolisian mesti melakukan pemeriksaan kejiwaan terhadap pelaku.
Selain itu, perilaku menyimpang seseorang hingga nekat melakukan tindakan asusila, dapat dikarenakan persoalan ekonomi. Hal ini biasanya dapat terjadi kepada mereka dengan taraf ekonomi dan pendidikan yang rendah.
“Perbuatan asusila seorang paman kepada ponakan, bisa juga karena ada faktor kelalaian dari lingkungan sekitar. Pasti ada ruang dan kesempatan yang membuat pelaku sampai melakukan hal itu,” jelasnya.
Namun menurut Ayunda, perilaku seksual menyimpang yang melibatkan orang terdekat, dapat dikarenakan pengawasan dari keluarga sangat kurang. Terlalu mudah percaya dengan orang terdekat seperti sanak keluarga.
“Kasus asusila dalam beberapa tahun ini trennya memang meningkat. Tidak jarang, pelaku adalah bapak tiri, bapak kandung, dan adik atau kakak korban. Ini fenomena yang cukup mencengangkan,” imbuhnya.
Lebih lanjut dijelaskan perempuan berhijab ini, untuk memulihkan trauma korban, maka dapat dilakukan pendampingan psikologis. Tujuannya untuk memberikan dukungan psiko sosial kepada korban. Supaya anak tidak trauma berkepanjangan atau traumanya menjadi semakin berat hingga membuat anak depresi.
“Tapi kita perlu tahu dulu, sejauh mana kondisi psikologis korban, apakah mengalami trauma atau tidak. Nanti penanganannya disesuaikan dengan tingkat trauma korban,” tuturnya.
Selain itu, korban juga dapat mendapatkan pendampingan konseling hingga ke persidangan dari unit khusus di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang berada di bawah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Samarinda.
Ingatkan Pentingnya Pengawasan Orangtua
Hal terpenting yang diingatkan Ayunda bagi para orangtua dalam mencegah berbagai perilaku menyimpang, utamanya tindakan asusila kepada anak, yakni dengan meningkatkan pengawasan. Peran itu dinilai sangat sentral dalam memberikan pengawasan.
“Seorang ibu harus meningkatkan pengawasan kepada anak perempuan maupun laki-laki. Baik saat di rumah maupun ketika anak jauh dari orangtua,” serunya.
Dia juga mengajak, supaya masyarakat ikut melakukan kontrol terhadap tetangga sekitarnya. Untuk anak itu sendiri, orangtua harus mengajarkan mana saja bagian tubuh yang boleh di sentuh dan tidak oleh orang lain. Dalam konteks ini, anak diajarkan pendidikan seks sejak dini.
“Kita menjelaskan kepada anak, mana saja bagian tubuh yang tidak boleh disentuh oleh orang asing, termasuk orang dekat dalam keluarga. Ketika ada yang menyentuh bagian tubuh yang dilarang, maka anak diajarkan untuk berteriak, lari, atau melaporkannya,” tandas Ayunda. (*)
Penulis/Editor: Dirhanuddin