PeristiwaTrending

Beras Oplosan Tak Sesuai Standar Premium, Pemerintah Dorong Penyesuaian Harga Bukan Penarikan

Penyesuaian Harga Jadi Solusi atas Beras Tak Sesuai Kategori Premium

Loading

Akurasi.id – Isu beras oplosan kembali mencuat dan menjadi sorotan publik setelah pemerintah menemukan sejumlah praktik curang oleh produsen beras. Temuan tersebut meliputi beras bermerek yang tidak sesuai dengan label kemasan dan tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan.

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, menegaskan bahwa pencampuran butir utuh dan butir patah dalam proses produksi beras adalah hal lumrah selama masih sesuai dengan ketentuan mutu pemerintah.

“Kalau beras itu pasti dicampur. Karena ada butir utuh dan butir patah. Untuk beras premium, batas maksimal butir patah adalah 15 persen. Pencampuran ini sah selama tidak melanggar standar mutu,” kata Arief dalam keterangannya, Jumat (18/7/2025).

Beras Oplosan dan Standar Mutu

Dalam praktiknya, kata Arief, banyak beras premium yang ternyata memiliki kadar butir patah lebih dari standar, misalnya mencapai 30 atau bahkan 40 persen. Produk semacam ini tidak seharusnya dikategorikan premium, dan bila dijual dengan label premium, itu bisa menyesatkan konsumen.

Jasa SMK3 dan ISO

“Kalau broken-nya 30 persen, ya jual dengan harga broken 30 persen. Enggak perlu ditarik dari pasar, yang penting informasinya benar dan tidak menipu,” ujarnya.

Pemerintah telah menetapkan ketentuan mutu beras premium dalam Peraturan Bapanas No. 2 Tahun 2023 serta SNI 6128:2020. Di antaranya, butir patah maksimal 15 persen, kadar air maksimal 14 persen, dan derajat sosoh minimal 95 persen. Bila melebihi batas tersebut, maka tidak layak disebut beras premium.

Sikap Pemerintah: Korektif, Bukan Reaktif

Arief menegaskan bahwa tindakan korektif lebih efektif daripada reaktif seperti menarik produk. Penyesuaian harga berdasarkan mutu aktual dinilai lebih realistis dan efisien. Ia juga menyoroti pentingnya peran penggilingan dalam menyortir beras agar sesuai spesifikasi.

“Kalau padinya digiling, setting mesinnya harus tepat. Jangan sampai hasil sortir berantakan. Ini semua bisa diatur karena sudah digital,” tambahnya.

Pihak peritel pun mulai mengambil langkah antisipatif. Ketua Umum Aprindo, Solihin, mengatakan bahwa peritel siap menarik produk jika terbukti melanggar ketentuan. Namun, ia menekankan bahwa tanggung jawab mutu tetap berada di tangan pemasok.

“Kami hanya menjual, bukan memproduksi. Untuk itu, kini semua supplier wajib menyertakan surat pernyataan bahwa produk mereka memang memenuhi standar premium,” tegasnya.

Arief juga memperingatkan bahwa praktik oplosan yang tergolong pidana adalah jika menggunakan beras subsidi SPHP dan menjualnya dengan cara menyesatkan.

“Kalau misalnya dicampur beras busuk lalu diklaim premium, atau beras SPHP dijual mahal—itu pidana,” katanya.

Dengan adanya pengawasan ketat dari Satgas Pangan, Kementerian Pertanian, dan Kejaksaan, pemerintah berharap tata niaga beras nasional dapat segera dibenahi dan memberi rasa aman kepada masyarakat dalam memilih beras.(*)

Penulis: Nicky
Editor: Willy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button