Pemberlakuan Presidential Threshold, Irwan Fecho: Tidak Relevan untuk Pemilu 2024


Pemberlakuan Presidential Threshold, Irwan Fecho: tidak relevan untuk Pemilu 2024. Pasalnya hasil pileg dan pilpres 2024 belum diketahui.
Akurasi.id, Samarinda – Anggota Komisi V DPR RI Irwan turut menyoroti ketentuan tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau pemberlakuan presidential threshold yang termuat dalam pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam ketentuan tersebut, banyak pihak menilai menghilangkan hak konstitusional setiap warga dalam mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa.
Dipaparkan, pada setiap gelaran pemilihan presiden (pilpres) yang dilaksanakan secara langsung sejak tahun 2004, ambang batas pencalonan presiden memang dimaksudkan sebagai barrier to entry bagi setiap calon. Pada saat itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun hampir tidak dapat mencalonkan diri karena jumlah dukungan yang terbatas.
Pada 2009, kembali ada skenario politik agar SBY tidak dapat dicalonkan dengan mengubah dan menaikkan angka ambang batas pencalonan presiden menjadi 25 persen kursi DPR dan 20 persen suara sah nasional.
Namun, karena pemilihan legislatif yang dilaksanakan lebih awal sebelum pilpres, ternyata Demokrat memenangkan pileg dengan perolehan kursi 150 atau equivalen dengan 26,4 persen kursi DPR RI, akhirnya skenario menggagalkan SBY melalui presidential threshold gagal total. Bahkan, pada saat itu SBY memenangkan pilpres secara langsung untuk kedua kalinya.
Namun, dalam hal ini ada perbedaan dari gelaran pilpres pada tahun 2004 dan 2009 dengan 2019 dan pada 2024 akan datang. Pada 2019 dan 2024 pileg dan pilpres akan dilaksanakan secara serentak. Menurut Wasekjen Partai Demokrat ini, ketentuan tersebut tak lagi relevan digunakan.
“Harusnya secara konstitusional ambang batas pencalonan tidak relevan lagi dijadikan sebagai syarat pencalonan mengingat hasil pileg dan pilpres 2024 belum diketahui hasilnya. Jika menggunakan hasil pemilu 2019, justru alasan pemberlakuan presidential threshold untuk penguatan sistem presidential tidak cocok karena hasil pemilu atau resultan politik akan berbeda,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Rabu (22/12/2021).
Selanjutnya, fakta politik juga menunjukkan dalam beberapa pemilu terakhir, justru pembentukan koalisi pemerintahan dapat terjadi setelah pileg dan pilpres selesai. Bahkan paling mutakhir, justru yang berlawanan dalam pilpres menjadi sekutu pasca pemilu dan menjalankan pemerintahan bersama-sama.
“Jadi presiden terpilih mendapatkan tambahan dukungan dari parlemen setelah pemilu usai. Di situlah inti penguatan kabinet presidensial, bukan pada saat proses kandidasi/pencalonan,” tegas pria yang kerap disapa Irwan Fecho.
Wakil rakyat dari daerah pemilihan (dapil) Kaltim ini mengatakan, sebenarnya design konstitusional Indonesia juga menganut skema second round system (dua ronde) & simple majority (kemenangan sederhana 50 persen + 1).
Dalam artian, konstitusi sebenarnya telah memiliki mekanisme saringan terhadap setiap calon presiden dan wakil presiden agar pemilu di Indonesia menghasilkan pemimpin negara yang berkualitas dan memiliki dukungan yang kuat.
“Oleh karena itu, dari pengalaman politik dan konstitusi kita termutakhir harusnya tidak ada lagi pemberlakuan presidential threshold. Dengan pemilu yang serentak, setiap partai politik peserta pemilu harusnya memiliki hak untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden,” tuturnya.
“Di situlah ada jaminan dan perlindungan terhadap hak untuk memilih dan dipilih setiap partai politik dan warga negara,” sambungnya. (*)
Penulis: Devi Nila Sari
Editor: Suci Surya Dewi