
Akurasi, Nasional. 30 Januari 2024, Jakarta – Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai izin bagi seorang presiden untuk berkampanye dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, telah menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Kontroversi tersebut muncul karena adanya ambiguitas dalam aturan terkait, khususnya Pasal 281 dan 299 yang mengatur tata cara presiden berkampanye.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus, menilai bahwa dua pasal tersebut sangat ambigu dan kontradiktif. Pasal 281 menetapkan syarat-syarat bagi presiden yang ingin berkampanye, seperti tidak boleh menggunakan fasilitas negara dan harus izin cuti terlebih dahulu. Sementara Pasal 299 menyatakan bahwa presiden memiliki hak untuk berkampanye dengan aturan tertentu.
“Saran saya adalah perlu dilakukan perumusan ulang terhadap UU ini, dilakukan revisi UU untuk penyempurnaan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 ini,” ucap Guspardi, Senin (29/1).
Kritik terhadap pasal 281 juga datang dari Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, yang menyurati Presiden Jokowi agar memastikan para menterinya tidak melanggar ketentuan larangan dalam undang-undang tersebut. Meskipun Bagja mengakui bahwa seorang menteri boleh berkampanye, namun ada batasannya, seperti harus cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara.
Pada sisi lain, beberapa ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai universitas di Indonesia juga memberikan respons terhadap pernyataan Jokowi. Ketua BEM UGM, Gielbran M. Noor, menyatakan bahwa pernyataan tersebut mempertegas adanya cacat dalam demokrasi Indonesia dan menilai Jokowi sebagai “Alumnus UGM paling memalukan.”
Pada tanggapan lain, Melki Sedek Huang, mantan Ketua BEM UI, menyampaikan terima kasih kepada Jokowi karena telah secara terang-terangan menunjukkan keberpihakannya. Meski demikian, Huang juga menyatakan bahwa ini merupakan akhir kekuasaan yang tidak hormat dan memalukan.
Ambiguitas aturan mengenai presiden yang boleh berkampanye memunculkan pertanyaan etika dan kepatuhan terhadap hukum. Beberapa pihak menyatakan perlunya revisi UU Pemilu untuk mengatasi ketidakjelasan tersebut dan memastikan keberlanjutan proses demokrasi yang transparan dan adil.(*)
Editor: Ani