
![]()
Akurasi.id – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengingatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) untuk tidak terburu-buru dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Permohonan untuk menunda PHK datang dari Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI Jamsos) Kemnaker, Indah Anggoro Putri, yang menegaskan pentingnya menunggu putusan inkrah dari Mahkamah Agung (MA) sebelum mengambil langkah drastis.
Indah menekankan perlunya dialog antara manajemen dan serikat pekerja dalam mengambil keputusan yang mempengaruhi kondisi perusahaan. Kemnaker meminta Sritex dan anak perusahaan untuk tetap memenuhi hak-hak pekerja, termasuk pembayaran gaji.
Di sisi lain, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, memperingatkan bahwa sekitar 20 ribu pekerja di Sritex terancam kehilangan pekerjaan tanpa pesangon. Dia menegaskan bahwa Sritex menghadapi masalah keuangan yang serius, dengan utang yang jauh lebih besar dibandingkan aset yang dimiliki.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menilai kebangkrutan Sritex disebabkan oleh kesulitan membayar utang, bukan karena beban upah. Dia juga menyoroti perlunya kenaikan upah agar daya beli pekerja meningkat, yang dapat membantu perusahaan.
Sritex, yang telah beroperasi lebih dari 50 tahun, tercatat memiliki utang mencapai US$ 1,60 miliar dengan defisiensi modal yang terus membengkak. Pengadilan Niaga Semarang juga menyatakan bahwa perusahaan lain yang terlibat dalam kasus ini, seperti PT Sinar Pantja Djaja dan PT Bitratex Industries, mengalami situasi serupa.
Kementerian Ketenagakerjaan belum menerima laporan resmi mengenai jumlah pekerja yang terkena PHK, dan saat ini kasus tersebut sedang ditangani oleh Dinas Ketenagakerjaan Jawa Tengah. Dengan semakin meningkatnya jumlah perusahaan yang dinyatakan pailit di Indonesia, kebangkrutan Sritex menambah daftar panjang perusahaan yang terpaksa menutup operasionalnya akibat masalah keuangan.
Kondisi ini menggambarkan tantangan yang dihadapi industri tekstil dan ritel di Indonesia, di mana efek inflasi tinggi dan persaingan yang ketat semakin memperparah situasi. Sritex bukanlah satu-satunya perusahaan yang mengalami kebangkrutan; beberapa perusahaan besar lainnya, seperti The Body Shop dan Tupperware, juga terpaksa menutup operasionalnya akibat krisis finansial.
Melihat dampak yang luas dari kebangkrutan Sritex, baik terhadap pekerja maupun industri secara keseluruhan, pemerintah dan pihak terkait diharapkan dapat segera mencari solusi untuk melindungi hak-hak pekerja serta mendorong pertumbuhan industri yang lebih berkelanjutan.(*)
Penulis: Nicky
Editor: Willy









