
JHT bisa cair di usia 56 tahun menjadi aturan terbaru Kementerian Ketenagakerjaan. Aturan JHT bisa cair usia 56 tahun inipun menuai beragam komentar negatif.
Akurasi.id, Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan aturan baru yakni pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa dilakukan saat pekerja berusia 56 tahun.
Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022, tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Dalam aturan yang diteken Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauzia, manfaat JHT dibayarkan kepada peserta jika mencapai usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Selain itu, manfaat JHT juga berlaku pada peserta yang berhenti bekerja seperti mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja, dan peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
“Manfaat JHT bagi Peserta mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan Peserta terkena pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b diberikan pada saat Peserta mencapai usia 56 tahun,” demikian bunyi pasal 5 Permenaker tersebut.
Aturan Berlaku Mei Mendatang
Aturan tersebut akan resmi berlaku pada Mei mendatang. Sehingga, aturan JHT yang tertuang dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 akan terhapus.
Padahal dalam aturan itu, manfaat JHT bisa langsung cair kepada peserta yang mengundurkan diri dan terbayar secara tunai setelah melewati masa tunggu 1 bulan terhitung sejak tanggal surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan.
Dapat Respon dari Berbagai Pihak
Aturan baru mengenai pencairan JHT mendapat respons negatif dari berbagai pihak. Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia (UI) Aloysius Uwiyono mengkritik kebijakan Ida Fauziyah selaku Menaker itu.
Aloysius mengatakan pemerintah mestinya fokus pada perbaikan Undang-undang Cipta Kerja alih-alih mengubah aturan terkait JHT. Mengingat saat ini, pemerintah memang wajib untuk memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dalam batas waktu 2 tahun.
“Seharusnya pemerintah lebih memfokuskan perbaikan UUCK, bukan mengubah peraturan dengan mengurangi hak pekerja untuk mengambil JHT sebelum masa pensiun, karena mengundurkan diri atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK),” ungkapnya.
Dia juga menyebut, memahami aturan ini masih bisa jika alasan tak bisa mencairkan JHT karena pekerja mengundurkan diri.
Namun, aturan tersebut sangat memberatkan apabila berlaku bagi pekerja yang berhenti karena PHK dan belum berusia 56 tahun.
Pasalnya, mereka membutuhkan dana tambahan untuk mencukupi biaya hidup selama tidak bekerja. Terlebih jika biaya pesangon juga kecil.
“Sebaiknya yang karena PHK, boleh mengambil JHT itu. Sedang yang mengundurkan diri berlanjut dengan perusahaan baru,” ujarnya.
Tak hanya Guru Besar UI, kalangan pekerja juga banyak yang kaget dengan aturan tersebut. Salah satunya adalah Andri yang kini berusia 41 tahun.
“Saya masih shock dengan aturan itu,” ungkap Andri (41), yang belerja di pabrik garmen Sukabumi, Jawa Barat.
Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengecam langkah Ida Fauziyah ini.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan dengan aturan itu, JHT buruh yang terkena PHK saat berusia 30 tahun baru bisa mengambil setelah 26 tahun kemudian atau ketika usianya sudah mencapai 56 tahun.
“Pemerintah sepertinya tidak bosan menindas kaum buruh,” kata Iqbal dalam keterangan tertulis, Jumat (11/2). (*)
Sumber: CNNIndonesia.com
Editor: Redaksi Akurasi.id