Catatan

Ilusi Kesamaan Hak Dalam Kesetaraan Gender

Loading

kesetaraan gender
Hafsah Ummu Lani

Oleh: Hafsah Ummu Lani

Bontang, 7 April 2020

MESKIPUN terdapat kemajuan dalam pendidikan selama 25 tahun terakhir, kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan masih terjadi di banyak wilayah di seluruh dunia, menurut sebuah laporan yang dirilis pada Rabu 4 Maret 2020 dari UNICEF, entitas PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women), dan Plan International.

baca juga: Wabah Covid-19 Melanda, Nyawa Rakyat Taruhannya

Jasa SMK3 dan ISO

Laporan yang dirilis jelang sesi ke-64 Komisi Status Perempuan pekan depan itu memaparkan jumlah anak perempuan yang putus sekolah turun 79 juta orang dalam dua dekade terakhir, dan dalam satu dekade terakhir anak perempuan memiliki kemungkinan lebih besar untuk melanjutkan ke sekolah menengah dibanding anak laki-laki.

Mereka tidak lebih beruntung di tingkat sekolah dasar, dengan 5,5 juta lebih banyak anak perempuan dibandingkan anak laki-laki yang putus sekolah di seluruh dunia. Kemajuan global dalam mengurangi jumlah anak putus sekolah di tingkat dasar mengalami stagnasi, baik untuk anak perempuan maupun laki-laki sejak tahun 2007.

Pendidikan tinggi adalah sebuah kemewahan bagi kaum wanita. Entah dengan “senjata” interpretasi agama, stereotip peran gender yang mengakar dalam budaya setempat, mitos-mitos, atau tindakan represif yang membungkus ketidakpercayaan diri sebagian pihak, perempuan dipaksa mundur menuntut ilmu tinggi. Perempuan harus berusaha ekstra untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya, terlepas telah tersedianya macam-macam akses ke pendidikan di berbagai negara.

Lirik kisah Malala Yousafzai yang mati-matian berjuang supaya perempuan-perempuan muda Pakistan mampu mengecap pendidikan di tengah kekangan Taliban. Gadis yang baru berusia 20 ini bahkan sempat mempertaruhkan nyawa demi idealismenya tersebut. Bagi Taliban, perempuan berpendidikan adalah momok dan tidak sejalan dengan keyakinan mereka.

Dalam kampanye Deklarasi Beijing, isu kesetaraan gender menjadi topik utama. Setelah puluhan tahun digagas dalam forum international, tanda-tanda kebangkitan perempuan dari keterpurukan dalam bidang pendidikan dinilai kurang memuaskan. Kesetaraan gender adalah gagasan yang dilahirkan oleh barat yang berlandaskan atas doktrin sekuler barat buatan manusia, dan timbul karena banyaknya ketidakadilan dan ketiadaan hak-hak yang diperoleh kaum perempuan di negara-negara barat di bawah sistem sekuler.

Menurut psikolog pendidikan Reky Martha, pendidikan dapat menjadi peluang perempuan menyejahterakan hidupnya. Dengan pendidikan yang tinggi, perempuan dapat memberikan ilmu bagi dirinya dan orang sekitar. Perempuan juga dapat menaikkan derajat hidupnya. Faktanya di pelosok-pelosok negeri ini masih banyak kaum perempuan yang belum mendapatkan haknya dalam bidang pendidikan.

Di sisi lain, anggapan masyarakat soal perempuan yang berpendidikan dinilai tidak berguna jika tidak aktif di luar rumah. Minimal bisa eksis di tengah masyarakat dengan bekal ilmu yang dimiliki. Pendidikan belum dilihat sebagai sebuah hak yang harus diperoleh, juga belum dinilai sebagai kewajiban bagi individu.

Sistem pendidikan sekuler saat ini belum mampu mengatasi persoalan terhadap perempuan. Bagi penggiat gender,  tentu masalah ini tak akan pernah memuaskan mereka. Adanya perbedaan hak dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan menjadi masalah tersendiri. Padahal, secara fitrah dan fisik tentu saja berbeda.

Maka secara alami, kesetaraan itu menjadi hal yang mustahil. Sistem ini juga menuntut peran perempuan di ranah publik, akibatnya, ranah domestik bagi kaum hawa perlahan mulai bergeser karena tuntutan zaman. Fondasi keluarga lambat laun menjadi lemah karena adanya pergeseran nilai. Bisa dibayangkan seperti apa generasi selanjutnya.

‌Meningkatnya mutu pendidikan, tidak otomatis membuat kehidupan seseorang sejahtera. Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebabnya.   Dalam sistem kapitalis liberal, ranah pendidikan bahkan menjadi peluang sebagai ladang bisnis. Pendidikan bisa menjadi barang mahal dan tidak semua rakyat bisa mengecapnya. Kesetaraan gender hanya menjadi agenda tahunan yang tiada berakhir.

‌‌Dalam Islam, pendidikan adalah hak bagi semua rakyat. Maka negara wajib menyediakan sarana dan prasarana agar semua dapat menikmati tanpa kendala. Adapun antara laki-laki dan perempuan juga tidak ada perbedaan. Yang perlu dipahami bahwa ilmu yang diperoleh bukan semata-mata mencari materi dan eksistensi, namun hanya sebagai sarana. Idealnya, pendidikan orientasinya untuk akhirat, karena menjadi sebuah kewajiban sesuai sabda Rasul Saw: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap kaum muslim” (HR Ibnu Majah). Maka pertanggungjawaban di akhiratlah yang menjadi acuan untuk meraih ilmu tersebut.

‌‌Dalam sejarahnya, Islam sangat memuliakan perempuan. Semenjak Rasul Saw diutus, tidak ada lagi anak perempuan yang dikubur hidup-hidup karena malu. Mereka diberi peluang untuk mengabdi kepada masyarakat,  dalam hal pendidikan dan kesehatan, bahkan berpolitik. Namun hal tersebut bukan berarti meninggalkan kodratnya sebagai pengurus rumah tangga.  Haknya bisa dicapai tanpa melalaikan kewajiban utama. Peran laki-laki dan perempuan sudah diatur sehingga tidak perlu ada tuntutan persamaan dalam segala hal.  Laki-laki sebagai qowwam atau pelindung dan perempuan sebagai ummu warobbatul bait atau pengurusnya.

‌Dalam surah An Nisa ayat  34, Allah Swt berfirman:

‌‌”Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).”

‌‌Demikianlah Islam mengatur urusan pendidikan bagi perempuan,  baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan umum. (*)

Editor: Dirhanuddin

*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Akurasi.id

Sekilas Penulis: Hafsah, lahir di Bulukumba, (Sulsel), 7 September 1973. Pendidikan SD, SMP dan SMEA di Kota Bontang. Setelah menikah, perempuan yang juga pemerhati sosial dan member AMK, menghabiskan waktunya dengan menjadi ibu rumah tangga dan mengurus 3 orang putrinya.

Artikel Terkait

Back to top button