News

Cerita Hamdana Penderita TBC yang Mendapatkan Perlakuan Diskriminasi

Loading

Cerita Hamdana Penderita TBC yang Mendapatkan Perlakuan Diskriminasi
Ilustrasi(net)

Akurasi.id, Sangatta – Napas Hamdana memburu. Seluruh rongga dadanya terasa begitu sesak. Sekadar menarik napas saja begitu sukar dan sulit. Bulir-bulir keringat tampak mulai bercucuran di seluruh tubuhnya.

Kala ayam jantan berkokok, perempuan 35 tahun itu pun terbangun dari tilamnya. Dengan suara yang mulai memberat dan terpotong-potong, Hamdana berjalan tergopoh-gopoh ke arah dapur rumahnya. Segelas air kemudian dengan sigap dia tenggak.

Suara batuk yang menyesak datanya masih terus memburu. Usai menghentakan sekali lagi batuk, bercak berwarna merah dan kental, sudah tampak membasahi tangan Hamdana. Di bawah temaran lampu, mata Hamdana pun terbelalak. Itu adalah bercak darah.

Pertengahan 2017 lalu, Hamdana divonis mengidap penyakit tub‎erculosis (TBC) selepas memeriksakan kesehatannya di salah satu rumah sakit di Sangatta, Kutai Timur (Kutim). Di bawah baskara yang sudah bergerak sepenggal hari, dada Hamdana benar-benar sesak mengetahuinya.

Jasa SMK3 dan ISO

Entah dari mana asal penyakit tersebut. Kapan dan di mana dia bisa mendapatkannya. Dia hanya tahu dirinya kala itu tiba-tiba saja mengalami batuk berdahak. Tanpa disadarinya, badan Hamdana bergetar di siang itu.

Perasaan Hamdana kian remuk saat orang-orang terdekatnya ikut menghardik. “Kamu nyusahin saja. Dasar penyakitan,” begitu selentingan kata yang terlontar dari mulut suami Hamdana setiap kali dia terbatuk-batuk.

Hati Hamdana begitu lara mendapati dampratan yang meluncur dari lidah orang yang telah menikahinya ini selama tujuh tahun lamanya. Dana, begitu karib dia disapa, menceritakan kepada Akurasi.id pahitnya menjalani kehidupan sebagai penderita TBC.

Dalam melawan penyakitnya, Dana nyaris tidak sedikitpun mendapat dukungan dari sang suami. Bukannya pamrih, dari mulut suami acap keluar hardikan. Sang suami merasa pengobatan yang dilakukan Dana hanya membuang-buang waktu.

Antrean terapi memang sering mengular. Efek samping setelah meminum obat TBC juga bikin tubuh gatal-gatal. Dia mengucap keluh. Namun keluhan berbalas makian. Sejak pertengkaran itu, Dana dan suaminya berpisah.

Sejak saat itu, sang suami pun tidak pernah lagi menyambangi rumah kontrakan mereka yang terletak di Jalan Yos Sudarso, Gang Family, Sangatta Utara. Dana bersemuka vonis TBC MDR (multidrug-resistant) pada Agustus 2017.

Pengobatan Tidak Boleh Putus

Penyakit itu berpangkal pada bakteri mycobacterium tuberculosis. Umumnya menyerang paru. Tapi bisa pula berdampak pada bagian tubuh lain. Terapi antibiotik rutin jadi solusi pengidap TBC. Bila pengobatan putus, TBC bisa naik level jadi kebal antibiotik. Itulah jenis TBC MDR.

Pada kasus TBC MDR, pasien diobati dengan mencari jenis antibiotik yang tepat. Pengobatannya makan waktu 18-24 bulan. Proses itu butuh pendampingan. Keluarga dan orang terdekat jadi kunci. Namun, apa daya, Hamdana tak mendapatkan semua itu.

Sejak vonis TBC MDR menimpa Dana, suaminya mulai bersikap dingin dan kurang peduli. Lambat laun sikap tak acuh berkembang jadi keluh dan maki. “Dia sering bilang, ‘kamu penyakitan’ atau ‘penyakit kamu menular’. Sakit mendengarnya,” tutur perempuan satu anak ini.

Dana sudah coba menjelaskan, selama pakai masker dan berobat rutin, penyakitnya tak menular. Alih-alih mengubah keadaan, upaya penjelasan lebih sering berujung pertikaian. “Setiap kali saya menjelaskannya, pasti selalu bertengkar,” kata dia.

Ribuan Orang Menderita TBC di Kutim

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kutai Timur (Kutim) mencatat, sejak 2018 lalu, angka penderita TBC di daerah tersebut mencapai 1.530 penderita. Diperlukan adanya penguatan jejaring layanan dengan melibatkan fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta atau publik private mix (PPM).

Hal tersebut berguna meningkatkan jejaring kerja program TBC di Kutim. Peningkatan angka temuan TBC di 2019, disebut-sebut bahkan cukup signifikan jika dibanding periode yang sama di 2018 lalu.

Setelah menggelar kegiatan sosialisasi penguatan PPM untuk menekan jumlah penderita TBC yang relatif tinggi. Peningkatan angka temuan, pengobatan bisa dilakukan dari awal penularan atau sumber penderita. Sehingga angka penyebaran pun bisa ditekan.

“Karena sejauh ini, penderita umumnya berobat saja dan tempatnya berobat juga tak melaporkan. Sehingga masih terus ditemukan penderita TBC, meski sudah dilakukan sosialisasi pencegahan di setiap wilayah Kutim,” ujar Hamdana.(*)

Penulis: Ella Ramlah
Editor: Yusuf Arafah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button