
Jakarta, Akurasi.id – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membagikan kisah pilu saat rumah pribadinya di Jakarta menjadi sasaran penjarahan pada akhir Agustus 2025.
Melalui akun Instagram pribadinya, @smindrawati, Sri Mulyani menuturkan bahwa salah satu benda yang dijarah adalah lukisan bunga hasil karya tangannya sendiri. Bukan sekadar karya seni, lukisan itu menyimpan nilai personal dan emosional yang tak ternilai.
“Lukisan bunga yang saya lukis 17 tahun lalu adalah hasil dan simbol perenungan serta kontemplasi diri. Sangat pribadi, seperti rumah tempat anak-anak saya tumbuh dan bermain, yang menyimpan kenangan tak ternilai harganya,” tulis Sri Mulyani, Rabu (3/9).
Lukisan yang Dibawa Penjarah
Dalam unggahannya, Sri Mulyani menggambarkan seorang pria berjaket merah dan mengenakan helm hitam tampak percaya diri keluar dari rumahnya sambil memanggul lukisan cat minyak bunga berukuran besar.
Bagi sang Menkeu, hilangnya lukisan tersebut melambangkan hilangnya rasa aman, kepastian hukum, serta nilai kemanusiaan di tengah situasi sosial yang semakin rawan.
“Lukisan bunga itu telah raib, seperti lenyapnya rasa aman, kepastian hukum, dan rasa perikemanusiaan yang adil dan beradab di bumi Indonesia,” ungkapnya.
Penjarahan Seperti “Pesta”
Sri Mulyani juga menyoroti suasana saat penjarahan yang menurutnya berlangsung bak pesta, dilakukan tanpa rasa bersalah, bahkan direkam dan diliput oleh media.
“Liputan penjarahan dimuat di media sosial dan diviralkan secara sensasional. Menimbulkan histeria intimidatif yang kejam. Hilang hukum, hilang akal sehat, hilang peradaban dan kepantasan. Runtuh rasa perikemanusiaan,” tegasnya.
Luka yang Tak Sekadar Materi
Meski kehilangan barang berharga, Sri Mulyani menekankan bahwa yang jauh lebih berat adalah hilangnya rasa aman dan nilai-nilai kemanusiaan. Ia juga mengenang bahwa ada korban lain dalam peristiwa Minggu kelabu akhir Agustus 2025 itu, yang nilainya jauh lebih besar dibanding lukisan pribadinya.
Kisah ini menjadi refleksi mendalam tentang kondisi sosial yang penuh ketidakpastian, sekaligus pesan bahwa kehilangan materi bisa tergantikan, namun hilangnya rasa aman dan perikemanusiaan meninggalkan luka mendalam.(*)
Penulis: Nicky
Editor: Willy