Solusi Tuntas Masalah Palestina


Ditulis oleh: Emirza Erbayanthi, M.Pd
Bontang, 28 Februari 2020
Koalisi Indonesia Bela Baitul Maqdis (KIBBM) bersama 20 organisasi yang fokus terhadap Palestina melakukan Aksi Bela Al-Quds di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Jumat (14/2/20). Aksi tersebut digelar untuk menyuarakan penolakan terhadap usulan perdamaian Trump dinamakan ‘Kesepakatan Abad Ini’ yang diumumkan Presiden Amerika Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada 28 Januari lalu.
baca juga: Catatan
Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva menuturkan, pihaknya menilai proses perdamaian Israel dan Palestina berada di tangan masyarakat kedua negara. Ini adalah respons lanjut atas rencana perdamaian Timur Tengah Amerika Serikat (AS) atau yang juga disebut dengan kesepakatan abad ini. Saat melakukan jumpa wartawan di kediamanaya di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Vorobieva mengatakan, Rusia masih memeriksa proposal AS tersebut dengan sangat hati-hati. Di mana, proposal ini mengusulkan pertukaran teritorial yang akan memberi Israel kendali atas bagian Tepi Barat.
Perdana Menteri Israel mengatakan pemerintahnya mulai merevisi peta Tepi Barat dan memasukkan sejumlah wilayah yang dianeksasi. Langkah ini dilakukan setelah Presiden AS Donald Trump merilis “kesepakatan” untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina. Benjamin Netanyahu mengatakan wilayah dalam peta baru itu akan menjadi kedaulatan Israel, menurut harian Yedioth Ahronoth. Termasuk permukiman ilegal di Tepi Barat dan wilayah Agvar, ujar Netanyahu.
Namun juru bicara Otoritas Palestina, Nabil Labu Ruedina, mengatakan peta Palestina yang diakui secara global, sesuai resolusi PBB. “Kami tak akan terkait dengan peta lain,” kata dia dan menunjukkan peta Palestina yang berlaku saat ini bertanggal 4 Juni 1967, dengan ibu kota Yerusalem Timur. Ruedina mengatakan itu satu-satunya peta yang akan memberikan stabilitas dan perdamaian di kawasan dan dunia.
Sebutan “kesepakatan abad ini” yang Trump umumkan 28 Januari lalu merujuk ke Yerusalem sebagai “ibu kota Israel yang tidak terbagi” dan mengakui kedaulatan Israel atas sebagian besar Tepi Barat. Rencana tersebut memicu kecaman luas dari dunia Arab dan ditolak oleh Organisasi Kerja Sama Islam, yang mendesak “semua negara anggota untuk tidak terlibat dengan rencana ini atau bekerja sama dengan pemerintah AS dalam mengimplementasikannya dalam bentuk apa pun.” Para pemimpin blok Muslim menegaskan kembali perlunya solusi yang adil dan komprehensif yang melindungi hak-hak warga Palestina.
Akar Masalah Palestina
Awalnya, pada dekade 20-an dan 30-an, orang-orang Yahudi dari berbagai negara, utamanya dari wilayah Eropa, berbondong-bondong bermigrasi ke wilayah Palestina. Migrasi itu terjadi karena telah dipersiapkan melalui Perjanjian Sykes-Picot 1916 yang membagi wilayah Khilafah Turki Utsmani pasca Perang Dunia I antara Inggris dan Prancis. Salah satu poinnya: wilayah Palestina menjadi wilayah internasional di bawah perlindungan Inggris, Prancis dan Rusia. Berikutnya pada 1917 muncul Deklarasi Balfour yang menjanjikan Palestina sebagai tanah air Yahudi. Sejak itulah orang-orang Yahudi bermigrasi secara besar-besaran ke Palestina.
Pada tahun 1947, PBB melalui resolusinya membuat pembagian wilayah Palestina. Berdasarkan resolusi itu, Israel mendapat 55 persen wilayah Palestina, sisanya untuk Palestina. Atas dasar itulah, dengan dukungan Inggris, pada tahun 1948 Israel berdiri.
Sejak itu Israel terus memperluas penguasaan tanahnya dengan cara-cara ilegal dan kriminal. Pada tahun 1967 Israel melancarkan perang dengan negara-negara Arab tetangga seperti Yordania, Suriah dan Mesir. Perang yang sarat dengan tipu daya itu pada akhirnya membuat Israel menguasai wilayah Palestina yang disebut dengan ‘batas 1967’. Israel menguasai sekitar 78 persen wilayah Palestina.
Berikutnya terjadi Perjanjian Camp David yang ditandatangani oleh Presiden AS Jimmy Carter, PM Israel Menachem Begin, Pimpinan PLO Yasser Arafat dan Presiden Mesir Anwar Sadat. Perjanjian itu mendamaikan antara Palestina dan Israel dengan skema two states solution (solusi dua negara). Solusi dua negara itu makin ditegaskan dalam Perjanjian Oslo ketika PLO di bawah Yasser Arafat menerima solusi tersebut dan menjadi dasar pendirian Otoritas Palestina. Masalah Palestina akhirnya berputar pada masalah tapal batas. Apakah batas sebelum 1947, batas 1967 atau lainnya.
Solusi Palsu
Klaim Trump bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel jelas sebuah masalah, umat Islam pantas marah. Pasalnya, klaim itu akan makin menguatkan cengkeraman zionis Israel atas Tanah Suci Palestina dan makin membuka jalan bagi mereka untuk menguasai bahkan menghancurkan Al-Aqsa.
Namun demikian, mengakui Tel Aviv sebagai ibu kota Israel juga bermasalah. Pasalnya, itu berarti mengakui keberadaan negara Israel yang dibangun di atas tanah rampasan, yakni Tanah Palestina. Ini sama halnya dengan mengakui perampok yang berdiri di atas lahan rampokannya.
Jelas, akar masalah Palestina hakikatnya adalah keberadaan Israel yang telah menyerobot, merampok dan menduduki Tanah Palestina dengan mengusir penduduk dan pemilik aslinya. Dengan kata lain akar masalah Palestina adalah agresi, pendudukan dan penjajahan Israel atas Palestina, bukan masalah tapal batas antara Israel dan negara-negara tetangga seperti Suriah, Libanon, Yordania, termasuk Palestina.
Dalam konteks masalah Palestina khususnya dan negeri-negeri Islam umumnya, berbagai forum dan pertemuan sering hanya untuk dua tujuan: Pertama, untuk meredam kemarahan publik muslim sehingga tidak menjadi gerakan yang lebih besar serta membahayakan rezim dan hegemoni kapitalisme negara penjajah. Tujuan pertama ini bisa dirasakan melalui KTT OKI terakhir itu.
Kedua, untuk menegaskan konsesi yang sudah diberikan atau menjadi persiapan untuk pemberian konsesi berikutnya. Ini juga tampak pada KTT OKI paling akhir. KTT itu hanya menegaskan konsesi sebelumnya berupa solusi dua negara seperti yang dinyatakan dalam keterangan finalnya. Dengan KTT OKI paling akhir, solusi dua negara itu diakui dan menjadi komitmen 55 negara OKI. Dengan itu seolah solusi dua negara diterima dan menjadi komitmen Dunia Islam dan seluruh kaum Muslim. Padahal jelas, solusi dua negara berarti pengakuan terhadap keberadaan Israel, sang penjajah Palestina.
Alhasil, ini adalah solusi palsu alias bukan solusi, melainkan penyerahan dan pengkhianatan. Pasalnya, solusi dua negara merupakan bentuk pengakuan dan pembenaran atas perampokan Israel atas Tanah Palestina.
Solusi Hakiki
Solusi hakiki untuk masalah Palestina haruslah bersandar pada syariah. Masalah Palestina adalah masalah Islam dan seluruh kaum muslim. Pasalnya, Tanah Palestina adalah tanah kharajiyah milik kaum muslim di seluruh dunia. Statusnya tetap seperti itu sampai hari kiamat. Tidak ada seorang pun yang berhak menyerahkan tanah kharajiyah kepada pihak lain, apalagi kepada perampok dan penjajah seperti Israel. Sikap semestinya haruslah seperti yang ditunjukkan oleh Sultan Abdul Hamid II yang menolak sama sekali segala bentuk penyerahan Tanah Palestina kepada kaum kafir meskipun hanya sejengkal. Karena itu sikap seharusnya terhadap Israel yang telah merampas Tanah Palestina adalah sebagaimana yang telah Allah perintahkan, yakni perangi dan usir! Demikian sebagaimana firman-Nya:
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tangan kalian, menghinakan mereka serta akan menolong kalian atas mereka sekaligus melegakan hati kaum Mukmin.” (TQS at-Taubah [9]: 14).
Allah SWT juga berfirman: “Usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian.” (TQS al-Baqarah [2]: 191).
Karena itu penyelesaian tuntas masalah Palestina tidak lain adalah dengan mewujudkan kekuasaan Islam yang berlandaskan akidah dan syariah Islam. Itulah Khilafah Islam yang mengikuti manhaj kenabian. Khilafahlah, sebagai satu-satunya pelindung umat yang hakiki, yang bakal melancarkan jihad terhadap siapa saja yang memusuhi Islam dan kaum Muslim. Tentu dengan kekuatan jihad pula Khilafah akan sanggup mengusir Israel dari Tanah Palestina.
Dengan membaca QS al-Isra’ [17]: 4-8, kita bisa memahami bahwa Yahudi hanya dapat dikalahkan dengan “hamba-hamba Allah yang memiliki kekuatan besar”. Kekuatan besar itulah khilafah. Jadi, solusi tuntas persoalan Palestina adalah khilafah dan jihad. Jika bukan khilafah dan jihad, adakah solusi lain? Apakah dengan perundingan? Ingatlah, sudah sangat banyak perundingan damai digelar dan ditandatangani, tetapi sebanyak itu pula diingkari. Jangankan sekadar sejumlah negara Arab atau Dunia Islam, bahkan seluruh dunia mengutuk pun, Israel—yang didukung penuh Amerika dan Barat—tak pernah peduli. Faktanya, sudah lebih dari 33 resolusi PBB terkait Israel dilanggar, dan tak ada tindakan apa pun atas Israel.
Sebagian pemimpin umat selalu menyerukan persatuan umat Islam untuk membebaskan al-Aqsha. Namun, bagaimana umat Islam bisa bersatu bila bukan dengan Khilafah yang terbukti pernah menyatukan mereka pada masa lalu serta sanggup melindungi Palestina dan al-Aqsha selama berabad-abad lamanya? (*)
Editor: Dirhanuddin
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Akurasi.id
Sekilas: Emirza Erbayanthi, M.Pd lahir di Jember, 16 Desember 1986 silam. Menempuh pendidikan SD di Kota Bengkulu dan Pelembang, sebelum melanjutkan pendidikan di SMP dan SMA Lampung. Selepas SMA, Emirza melanjutkan kuliah sarjana (S1) dan magister (S2) di Universitas Negri Jakarta.
Emirza pernah menjadi asisten doses (asdos) lab Fisika UNJ, dosen UNISMA Bekasi dan Guru Fisika SMP dan SMA di Bekasi. Ibu dua anak ini merupakan pemerhati masalah pendidikan dan sosial. Selain itu, Emirza juga menjadi guru SD Alam Bontang.