Sikapi Rotasi Kepala Disdukcapil Kutim di Masan Pemilu, Castro: Secara Aturan Waktu Sudah Melanggar


Sikapi rotasi kepala Disdukcapil Kutim di masan pemilu, Castro: Secara aturan waktu sudah melanggar. Karena dalam Pasal 71 ayat 2 UU nomor 10 tahun 2016, secara lugas disebutkan, kepala daerah dilarang melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Akurasi.id, Sangatta – Rotasi jabatan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kutai Timur, dari Heldi Frianda ke Sulastin pada 25 September 2020 lalu, dianggap telah masuk dalam bagian pelanggaran pemilu. Apalagi rotasi jabatan itu dilakukan Plt Bupati Kutai Timur (Kutim) Kasmidi Bullang selaku petahana dan calon peserta pilkada di daerah itu.
Menurut Pengamat Hukum dan Tata Negara Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, bentuk pelanggaran pemilu yang dilakukan Kasmidi sebagai petahana yakni telah melanggar Pasal 71 ayat 2 Undang-Undang (UU) nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
“Dalam pasal itu, berbunyi, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri,” jelas dia saat dihubungi melalui telpon selulernya, Selasa malam (15/12/2020).
Bila merujuk pada tahapan Pilkada Serentak 2020, yang mana penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dilaksanakan pada September 2020. Apabila dihitung mundur, maka petahana tidak boleh melakukan proses penggantian pejabat terhitung sejak Maret 2020 hingga dengan akhir masa jabatannya.
Namun jika terdapat petahana yang tetap melakukan penggantian pejabat dalam kurun waktu itu, maka yang bersangkutan masuk dalam kualifikasi waktu sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 71 ayat 2 tersebut. Artinya, petahana dapat diketegorikan telah melakukan pelanggaran pemilu.
“Ini tinggal proses pembuktiannya. Kalau soal waktunya, sebenarnya sudah masuk kualifikasi atau ketentuan di Pasal 71 ayat 2. Tinggal menentukan apakah unsurnya terpenuhi dalam ayat 2 yang dimaksudkan, apakah ada kewenangan, program, atau kegiatan yang merugikan salah satu pasangan calon dalam Pilkada Kutim. Itu yang mesti dibuktikan Bawaslu,” sebutnya.
Namun demikian, dikatakan pria yang karib disapa Castro ini, seorang petahana hanya boleh melakukan penggantian pejabat, apabila mendapatkan izin dari menteri terkait. Di mana, izin itu pun harus berdasarkan persetujuan tertulis.
“Tetapi kalau itu dilakukan secara sepihak, ada kecenderungan penggunaan kewenangan secara subjektif, maka itu masuk dalam delik Pasal 71 ayat 2. Itu sama persis dengan ayat 3, cuman itu bukan soal mutasi, tetapi soal penggunaan kewenangan atau program yang menguntungkan, atau merugikan pasangan calon lain,” paparnya.
Bila Terbukti Melanggar, Calon Dapat Dikenai Sanksi Pembatalan
Dikatakan Castro, yang menjadi persoalan untuk dibuktikan terhadap dugaan pelanggaran itu, apakah memang penggantian pejabat atau mutasi tersebut, dilakukan secara subjektif tanpa izin tertulis dari menteri atau tidak. Nah, jika bicara alat bukti, maka itu dapat berupa surat keputusan (SK) pengangkatan atau penggantian yang dilakukan petahana terhadap pejabat bersangkutan.
“Secara administrasi, bukti autentik (atas kasus dugaan pelanggaran itu) adalah SK. Ada surat keputusan yang ditandatangani oleh yang bersangkutan (petahana atau Plt Bupati Kutim). Dan apakah SK itu tidak berdasarkan izin tertulis dari menteri,” jelasnya.
Castro menuturkan, dalam hal nantinya seorang petahana terbukti melakukan pelanggaran, maka sesuai Pasal 71 ayat 5 UU nomor 10 tahun 2016, maka sanksinya dapat berupa pembatalan sebagai calon kepala daerah.
“Sanksinya bisa pembatalan oleh KPU. Bagaimana kalau pilkada sudah selesai? Ya enggak ada masalah. Kan yang dihitung sebelum pelantikan. Pembatalan itu sepanjang yang bersangkutan belum dilantik,” katanya.
Kalau pun yang bersangkutan sudah dilantik sebagai kepala daerah terpilih, namun dalam proses hukum yang berjalan kemudian terbukti melakukan pelanggaran pemilu, maka konsekuensinya tetap sama, berupa pembatalan.
“Tetapi pembatalannya bukan lagi sebatas sebagai calon kepala daerah, tetapi pembatalannya sebagai kepala daerah terpilih, itu apabila terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksudkan dalam UU nomor 10 tahun 2016,” pungkasnya. (*)
Penulis: Redaksi Akurasi.id
Editor: Dirhanuddin