Ruang Sensory Integrasi, untuk Tangani Anak Berkebutuhan Khusus di RSUD Taman Husada Bontang


Akurasi.id, Bontang – Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Taman Husada Kota Bontang mempunyai Ruang Sensory Integrasi yang dibangun untuk kasus ilmu kedokteran tentang kesehatan tumbuh kembang anak atau pediatri.
Baca juga: RSUD Taman Husada Bontang Laksanakan Diklat untuk Nakes
Di rumah sakit pelat merah ini juga melayani anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan autism, down syndrome, cerebral palsy, ADHD, motoric delay, hingga slow lerner. Ruangan ini dibangun sekira April 2018. Di sana, dokter akan melatih dan mengoptimalkan tumbuh kembangnya sesuai usianya.
“Misalnya anak cerebral palsy bisa kita treatment untuk meningkatkan kemampuan geraknya, supaya bisa merayap, merangkak, duduk, berdiri dan seterusnya sesuai kemampuan optimal dia,” ungkap Muhammad Sawali, Penanggung Jawab Layanan dan Administrasi Rehab Medik RSUD Taman Husada Bontang.
Untuk anak-anak autism yang hyperkinetik, kesulitan berkomunikasi, bersosialisasi dan memiliki perilaku–perilaku abnormal, kata Sawali, dilatih sensory integrasinya sehingga mampu mengintegrasikan seluruh sensornya. Tujuannya untuk meminimalisir berbagai perilaku negatif, menghentikan hyperkinetik, meningkatkan kemampuan sosial, dan komunikasi dua arah.
Sawali menuturkan, jumlah anak-anak yang dibina sudah banyak. Sebelum pandemi Covid-19, biasanya pihaknya melayani hingga 20 anak setiap harinya. Namun adanya pandemi, kini orang tua memilih untuk merawat di rumah saja.
“Paling sehari cuman 1 atau 2 anak, namun kami tetap buka terus karena tugas kita melayani apapun kondisinya. Kalau protokol untuk anak selalu kami pakaikan masker bagi yang sudah bisa pakai masker. Sebelum dan setelah treatment kita arahkan cuci tangan,” ujarnya.
“Tapi untuk anak-anak yang memang kesulitan pakai masker seluruh ruangan kita bersihkan dengan disinfektan. Setiap selesai treatment setiap anak selalu di clean up dengan disinfektan, kemudian tangannya kita cuci dan bersihkan supaya tidak menyentuh area mukanya,” tambahnya.
Dalam tim tumbuh kembang di RSUD Taman Husada ada beberapa terapis, mulai dari fisioterapis, okupasi therapist, dan therapist wicara. Jadi anak-anak akan mendapatkan treatment sesuai dengan kebutuhannya. Seluruh terapis, kata Sawali, wajib menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap.
“Misalnya dia hari ini butuh terapi wicara ya jadi dia diterapi sama terapi wicara, kalau dia butuh okupasi terapi, dia diterapi okupasi,” imbuhnya.
Pentingnya Treatment Sensor pada Manusia

Sawali memaparkan pada manusia terdapat 7 sensor. Yakni sensor visual (penglihatan), olfactory (penciuman), auditory (pendengaran), gustatory (pengecap), tactile seluruh permukaan kulit, proprioceptive (sensor sendi), dan vestibular (sensor keseimbangan).
Apabila ketujuh sensor diatas tidak mampu terintegrasi dengan baik maka akan muncul berbagai problem tumbuh kembang pada anak.
Misalnya pada anak autism yang hyposensitive dari proprioceptivenya maka yang terjadi anak akan selalu bergerak terus menerus dan tidak mau diam untuk memenuhi kebutuhan proprioceptive-nya.
Sehingga treatment yang dilakukan adalah bagaimana memberikan stimulasi kepada anak untuk memenuhi kebutuhan proprioceptive-nya. Dan pada akhirnya anak akan diam dan mampu mengendalikan gerakannya.
“Jadi sensor sendinya dapat dipenuhi, misalnya kami suruh naik kemudian meluncur lalu dia harus berayun dalam posisi diam, dan seterusnya,” tutur Sawali.
Ketika diam, lanjutnya, maka anak sedang mengintegrasikan seluruh kemampuan otaknya untuk menghentikan sensor proprioceptive-nya untuk bergerak. Sehingga dia bisa diam. Jadi diamnya itu karena memang kemampuannya untuk meregulasi sensor melalui pencapaian treatment yang mampu menstimulasi level cortical-nya.
“Tujuannya untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan seluruh sensornya agar tidak hanya memiliki high functional ability, tetapi lebih tinggi lagi yaitu executive function ability,” tutupnya. (*)
Penulis: Rae Anugrah
Editor: Suci Surya Dewi