Moderasi Beragama (Islam)


Ditulis Oleh : Nayla Majidah
Bontang, 15 Maret 2020
BEBERAPA tahun terakhir gagasan moderasi Islam cukup menarik perhatian berbagai kalangan. Terlebih lagi baru-baru ini muncul sebuah ide yang dianggap brilian, yang diklaim akan menyatukan keberagaman dalam satu payung bernama toleransi, yakni “Terowongan Toleransi”. Melalui gagasan terowongan toleransi diharapkan mampu menyatukan perbedaan antara Islam dan Kristen.
baca juga: (Refleksi Wabah Corona) Selamatkan Manusianya!
Pro-Kontra Terowongan Toleransi
Pembangunan terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral, Jakarta Pusat telah mendapat persetujuan Presiden dan termasuk dalam proyek renovasi Masjid Istiqlal yang ditargetkan rampung pada April 2020.Terowongan itu diharapkan menjadi sarana untuk silaturahmi.
“Tidak perlu menyeberang, sekarang pakai terowongan silaturahmi,” Tanggapan sejumlah tokohpun ada yang pro dan ada yang kontra. Ada yang mendukung, ada pula yang meminta Jokowi untuk mengkaji ulang ide pembangunan terowongan yang menghubungkan dua rumah ibadah itu.
Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama (NU), mengkritik pembangunan terowongan tersebut. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan, masyarakat membutuhkan silaturahmi dalam bentuk infrastruktur sosial, bukan dalam bentuk infrastruktur fisik berupa terowongan.
“Di mana pemerintah secara sungguh-sungguh membangun toleransi otentik, toleransi hakiki, dan bukan toleransi basa-basi. Itu yang dibutuhkan,” kata Abdul Mu’ti seperti dikutip dari salah satu media nasional.
Hal serupa dilontarkan oleh NU. Ketua Umum Pengurus Besar NU, Said Aqil Siroj, mempertanyakan urgensi pembangunan tersebut. “Harus ada nilai dong, apa nilai budaya, apa nilai agama, atau cuma strategi politik?” ujar Said, seperti dikutip dari Republika.
Menurutnya, akan lebih baik jika kedua rumah ibadah membangun kerja sama di bidang lainnya, seperti teknologi dan ekonomi. Selain itu, membangun toleransi juga dapat dilakukan melalui kebersamaan sikap mengenai kondisi di dalam dan luar negeri.
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom mengatakan, simbol-simbol yang dibangun itu tidak mengatasi beragam kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia.
“Kita membutuhkan kerukunan yang eksistensial, bukan yang formalistik dan simbol-simbol semaja,” ujarnya seperti dikutip dari Tempo.co.
Kontras dengan kritik tersebut, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Uskup Agung Ignatius Suharyo menyatakan dukungannya terhadap rencana pembangunan terowongan bawah tanah itu. Seperti dilansir dari Republika, terowongan tersebut menjadi monumen abadi yang sangat berarti dan bermakna.
Begitu pun dengan Wakil Kepala Masjid Istiqlal Abu Hurairah yang mengatakan, bahwa Indonesia membutuhkan ikon toleransi. Terowongan itu akan menjadi sarana penyeberangan bagi jemaat Gereja Katedral yang memarkir kendaraannya di halaman Masjid Istiqlal tanpa harus memutar terlebih dahulu.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Kedeputian Komunikasi Politik Donny Gahral mengatakan, rencana pembangunan terowongan itu sebenarnya telah disepakati kedua pengurus rumah ibadah. Hal tersebut didasari oleh kebutuhan lalu-lalang kedua umat beragama, baik dari Katedral ke Istiqlal maupun sebaliknya.
“Tapi kemudian oleh Pak Jokowi itu dinarasikan sebagai terowongan silaturahmi. Jadi, Pak Jokowi memberikan makna terhadap sesuatu yang sebenarnya fungsional saja,” kata Donny.
Program Moderasi Islam
Mendirikan “Rumah Moderasi Beragama”
Sebelum proyek terowongan ini, Indonesia juga telah merencanakan membuat kampus moderasi Islam bernama Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Menurut Wakil Presiden Ma’ruf Amin, kampus ini diharapkan akan menjadi ikon pusat moderasi Islam dunia. Dengan acuan Indonesia sebagai negeri mayoritas Islam dan negara demokrasi. Di setiap PTKIN (salah satunya di kampus IAIN Samarinda) diharapkan memiliki rumah moderasi beragama.
Menyanyikan lagu Indonesia Raya di Majelis Taklim
Majelis Taklim adalah tempat memupuk pemahaman Islam masyarakat. Kadang-kadang diselingi dengan sholawatan atau qosidahan. Karena Islamophobia dan pengaruh moderasi beragama, akhir-akhir ini ada majelis taklim justru menyanyikan lagi Indonesia Raya di pengajian. Lagu yang biasa dinyanyikan saat upacara bendera akhirnya bermigrasi ke majelis taklim.
Sosialisasi ke sekolah-sekolah
-Mendatangi sekolah-sekolah, bahkan sekolah-sekolah diundang ke acara yang membahas tentang toleransi dan moderasi dalam beragama. Membuat muatan kurikulum komprehensif menyangkut keberagaman dalam konteks keagamaan (seperti: penguatan komitmen beragama, penguatan toleransi, dan anti radikalisme).
Membuat juknis untuk Rohis dalam membuat materi untuk anggota Rohis. Penguatan diseminasi moderasi beragama melalui berbagai media, termasuk medsos. (Kalo di perguruan tinggi memilih duta moderasi seperti kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswa (PABK) bentuknya Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan, Supporting kegiatan moderasi melalui LBK bermuatan Modis dan pelbagai deklarasi mahasiswa anti radikalisme di PTKI).
Moderasi Beragama Dalam Pandangan Islam
Moderasi beragama merupakan bagian dari deradikalisasi yang menjauhkan umat dari Islam, dengan menempelkan umat pada Islam moderat akan mengaburkan pemahaman umat tentang Islam yang utuh sehingga terjadi sekularisasi ajaran Islam. Pengaruh sistem sekuler juga sangat merusak umat yang mantranya menjadikan cara berpikir umat semakin merosot dan melahirkan manusia-manusia yang berani menafsirkan sendiri ayat-ayat Allah. Sesuai dengan hawa nafsunya.
Dalam Islam, makna toleransi bisa dimaknai dengan merujuk surah Al Kaafirun: “Lakum diinukum waliyadiin” (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku). Memberikan kebebasan kepada siapapun dalam beragama. Pluralitas dalam Islam merupakan Sunatullah, namun tidak sampai mengantarkan pada sekuleritas (moderat dalam beragama). Justru dengan Pluralitas yang Allah ciptakan, maka manusia butuh aturan yang mampu menyatukan.
Pertanyaanya apakah aturan tersebut berasal dari manusia atau dari Allah? Islam adalah agama yang lengkap, termasuk penjelasan yang menyebut sebuah istilah bahwa istilah tidak boleh dibuat sembarangan. Allah berfirman dlm Al Baqarah: 104 “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) raa’ina tetapi katakanlah unzhurna dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih”.
Raa’ina berarti Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Dikala para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah orang Yahudi pun menggunakan kata ini dengan di gumam seakan-akan menyebut raa’ina padahal yang mereka katakan adalah ru’uunah yang berarti kebodohan yang sangat. Sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar perkataan raa’ina menjadi unzhurna yang juga sama artinya dengan raa’ina.
Dalil-dalil dalam Alquran, yang memerintahkan seorang mukmin untuk mengambil islam secara kafah: Surah Al Baqarah [2] : 208 “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Surat Al Imran [3] : 31 Katakanlah (Muhammad). “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha pengampun, Maha Penyayang.
Surah Al Ahzab [33] : 36 “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata”. (*)
Editor: Dirhanuddin
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Akurasi.id
Sekilas: Nayla Majidah, S.Pd lahir di Kabupaten Berau, 15 Agustus 1981 silam. Menempuh pendidikan SD di Berau, SMP dan SMK di Kota Samarinda. Selepas menamatkan pendidikan di bangku SMK, Nayla Majidah melanjutkan pendidikan dengan masuk di bangku perkuliahan Universitas Mulawarman Samarinda.
Di Universitas Mulawarman Samarinda, Nayla Majidah mengambil jurusan sarjana (S1) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Study Bahasa Inggris. Ibu empat anak ini pernah menjadi guru honorer Bahasa Inggris di beberapa sekolah dan Guru Freelance selama beberapa tahun.