Miris, Empat Desa di Batu Ampar Kutim Hidup Tanpa Listrik Selama 28 Tahun


Akurasi.id, Sangatta – Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Kabupaten Kutai Timur (Kutim) tidak menjadi jamin bila hal tersebut akan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal itu bukan tanpa alasan kuat. Hingga 2020 ini, ternyata masih ada sejumlah desa di Kutim yang hidup tanpa setrum listrik.
baca juga: Ketika Listrik Jadi Barang Langka di Pedalaman Kutim, Ekonomi Mandek, Gelap Tiada Berkesudahan
Ketika bertandang ke sejumlah kecamatan di Kabupaten Kutim pada 9-11 Maret 2020, media ini mendapati realitas masih adanya sejumlah desa yang belum teraliri listrik, baik dari setrum PLN maupun listrik desa dari pemerintah setempat. Misalnya saja di Kecamatan Batu Ampar, dari 5 desa yang ada di wilayah itu, baru Desa Batu Timbau yang teraliri listrik.
Sedangkan beberapa desa lain seperti Desa Himba Lestari, Mawai Indah, Beno Harapan, dan Mugi Rahayu, hingga Maret 2020 ini, ternyata belum juga mendapatkan setrum listrik. Mirisnya lagi, kondisi itu telah berlangsung selama hampir 28 tahun lamanya.
Padahal, Kabupaten Kutim cukup dikenal dengan sumber daya alam yang berlimpah. Sejumlah perusahaan pertambangan berdiri kokok dan megah di wilayah itu. Begitu juga dengan perusahaan kelapa sawit, hampir di setiap kecamatan membentang luas.
Selamet (56) warga Kecamatan Batu Ampar yang ditemui media ini, mengaku, dari kelima desa yang ada di Kecamatan Batu Ampar , baru Desa Batu Timbau yang teraliri listrik sekitar setahun terakhir. Setrum itu bersumber dari PLN. Sedangkan desa-desa lainnya masih hidup dalam ketiadaan listrik.
“Untuk Desa Batu Timbau, sudah teraliri listrik sekitar setahun terakhir. Sebelumnya mereka menggunakan mesin genset saja. Kalau untuk desa-desa lainnya di Kecamatan Batu Ampar, belum mendapatkan jaringan listrik,” ungkapnya, Rabu (11/3/20).
Hal senada juga diutarakan Dahlia. Perempuan yang bermukim di Desa Beno Harapan itu, begitu mengharapkan adanya segera setrum listrik yang masuk di tempat dia tinggal.
Bagi masyarakat Beno Harapan, menurut perempuan berkerudung itu, mendapatkan listrik adalah sebuah mimpi besar. Bagaimana tidak, sudah puluhan tahun lamanya, mereka menerangi malam hanya dengan berbekal lampu teplok. Jika mesin genset miliknya sedang tidak rusak, Dahlia, sedikit dapat bersyukur, karena bisa menyulam malam dengan penerangan listrik.
“Selain Desa Batu Timbau, listrik desa lainnya di Batu Ampar ini masih memakai genset. Seperti Desa Beno Harapan, listriknya menggunakan genset pribadi setiap rumah. Tapi ada juga yang sudah mulai menggunakan tenaga surya,” tuturnya.
Perempuan berkulit sawo matang itu tidak dapat memungkiri rasa sedihnya. Bagi dia dan warga lain, ada harapan dan keinginan besar agar desa mereka juga mendapatkan setrum listrik layaknya desa lainnya di Kutim, seperti di Sangatta Utara dan Bengalon yang sudah terlayani 24 jam listrik.
“Kalau dibilang sedih, ya sedih. Kalau lagi ada uang buat membeli bensin mesin genset sih, ya enggak apa-apa. Tapi kalau enggak ada, ya sedih juga. Masyarakat di Beno Harapan ini belum semuanya memiliki mesin genset,” cakapnya.
Dahlia mengungkapkan, untuk sekadar dapat menikmati listrik dari mesin genset, setidaknya dia harus mengeluarkan biaya membeli bensin antara Rp250 ribu hingga Rp300 ribu setiap bulannya. Karena untuk satu liter bensin, di Batu Ampar dijual Rp10 ribu. Sementara solar dijual Rp11 ribu per liternya.
Dari biaya itu pun, dia tidak lantas dapat menikmati listrik 24 jam. Listrik dari mesin genset hanya untuk menerangi malam dari pukul 18.00 Wita hingga pukul 23.30 Wita.
“Kami sangat berharap adanya listrik dari pemerintah atau PLN masuk ke desa kami. Kalau itu sudah ada, pasti ada banyak usaha yang bisa kami lakukan. Ekonomi kami pasti juga akan semakin membaik,” ujarnya.
Diakui Dahlia, pada 2019 lalu, warga Beno Harapan sudah sempat dijanjikan akan segera dialiri listrik PLN. Bahkan dari petugas PLN telah meminta biaya kepada setiap warga sekitar Rp1,5 juta untuk pemasangan paralon dan meteran. Namun hingga di 2020 ini, janji setrum listrik itu tidak kunjung terealisasi.
“Dari PLN sudah sempat memasang meteran listrik. Kami bayar Rp1,5 juta. Tetapi sampai sekarang belum dialiri listrik. (Tanda-tanda adanya pembangunan) tiang (dan jaringan) listriknya juga belum ada lagi,” imbuhnya. (*)
Penulis/Editor: Dirhanuddin