PeristiwaTrending

Mengurai Benang Kusut Intoleransi: Kasus Tangsel dan Harapan Persatuan

Loading

Akurasi.id – Kejadian memilukan yang berlangsung di Tangerang Selatan pada awal Mei 2024 telah menjadi sorotan nasional, menunjukkan sisi kelam dari ketidaktoleranan yang masih mendarah daging di beberapa komunitas di Indonesia. Pembubaran paksa kegiatan ibadah Doa Rosario oleh mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) oleh sejumlah warga lokal bukan hanya meninggalkan luka fisik, tapi juga luka yang lebih dalam terhadap kebhinekaan yang kita junjung tinggi.

Kasus ini berawal dari kegiatan ibadah yang seharusnya menjadi momen damai dan penuh kekhusyukan. Namun, ketenangan tersebut buyar ketika empat warga setempat, termasuk ketua RT, mendatangi lokasi dan dengan paksa membubarkan kumpulan tersebut. Keempat individu ini kini menghadapi tuntutan hukum atas perbuatan mereka, yang terekam dalam video yang kemudian viral di media sosial.

Menko Polhukam, Hadi Tjahjanto, dalam tanggapannya mengingatkan pentingnya menjaga toleransi dan saling menghormati antar pemeluk agama. “Kita harus memiliki toleransi yang tinggi dan saling menghargai satu sama lain, terutama dalam sebuah negara bangsa seperti Indonesia,” ujar Hadi dalam sebuah wawancara. Tanggapan ini bukan hanya sebatas seruan moral, tetapi juga panggilan bagi seluruh elemen masyarakat untuk memperkuat fondasi kesatuan yang menjadi pilar negara kita.

Aparat kepolisian telah bergerak cepat dalam menangani kasus ini. Kapolres Tangerang Selatan, AKBP Ibnu Bagus Santoso, mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan pemeriksaan saksi dan mengumpulkan bukti yang cukup untuk menetapkan status tersangka kepada empat pelaku. “Tindakan kami ini menunjukkan komitmen kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta melindungi hak setiap warga negara untuk beribadah,” terang Ibnu.

Jasa SMK3 dan ISO

Pembubaran ibadah ini juga mengundang reaksi dari berbagai lembaga dan tokoh masyarakat. Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) menyerukan agar kasus ini diusut tuntas. “Kami berharap ini menjadi pelajaran bahwa intoleransi, dalam bentuk apa pun, tidak memiliki tempat di Indonesia,” kata Billy Claudio, Ketua Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI.

Halili Hasan, Direktur SETARA Institute, menambahkan bahwa kejadian di Tangerang Selatan merupakan refleksi dari lemahnya ekosistem toleransi yang seharusnya melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Ini adalah momen kritis bagi kita semua untuk mengevaluasi dan memperkuat mekanisme perlindungan terhadap minoritas dan kelompok rentan,” jelas Halili.

Dalam menjawab tantangan ini, perlu ada langkah konkret yang diambil baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Edukasi dan dialog antarimannya harus ditingkatkan untuk mengurangi kesalahpahaman dan membangun rasa saling pengertian. Selain itu, penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif penting untuk menegaskan komitmen negara terhadap keadilan dan kesetaraan.

Momen ini seharusnya menjadi titik balik untuk mengembalikan semangat toleransi dan kesatuan dalam keberagaman yang selama ini menjadi kekuatan Indonesia. Melalui kasus yang menyakitkan ini, harapan untuk Indonesia yang lebih inklusif dan hormat terhadap perbedaan semakin mendesak untuk direalisasikan.

Kasus di Tangerang Selatan ini bukan hanya sekedar berita, tapi juga pengingat bahwa jalan kita masih panjang dalam mewujudkan Indonesia yang benar-benar berbhineka tapi tetap satu.(*)

Penulis: Ivan
Editor: Ani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button