Trending

Kisah Pelajar Samarinda Bernama Aldi, Rela Banting Tulang Jadi Badut Jalanan Demi Bantu Ekonomi Keluarga

Loading

Kisah Pelajar Samarinda Bernama Aldi, Rela Banting Tulang Jadi Badut Jalanan Demi Bantu Ekonomi Keluarga
Badut jalanan yang kerap terlihat di pinggir jalan Big Mal atau SCP. (Desain: Achmad Yani/Foto: Devi Nila Sari/Akurasi.id)

Kisah pelajar Samarinda bernama Aldi, rela banting tulang jadi badut jalanan demi bantu ekonomi keluarga. Apa dia lakukan, Aldi belajar menjadi anak yang mandiri. Dari hasil kerjanya, dia menyisipkan sebagian uangnya agar bisa membeli motor, dengan harapan kelak memudahkan dia bersekolah dan bekerja di waktu mendatang.

Akurasi.id, Samarinda – Derap langkah kuda berkaki besi mengawali hari di pagi itu. Suaranya memekakkan telinga dengan kicauan bising, bahkan sebelum mentari menampakkan wajah. Pada Sabtu (28/8/2021). Langit Kota Samarinda berwarna abu-abu. Disertai rintikan hujan yang menyejukkan hati. Aldi melangkahkan kakinya dengan gontai. Melirik ke kanan dan kiri, menyeberangi jalan. Tak ingin ditabrak si kuda besi yang dikendarai orang-orang dengan kecepatan tinggi.

Seperti biasa, ia harus bekerja lebih awal. Tubuhnya terasa berat. Ditatapnya jalanan yang cukup ramai itu dengan nanar. Sambil menghela nafas dalam. Mengenakan atribut kepala berbentuk tikus lucu yang dikenal sebagai Jerry, musuh Tom, untuk menyempurnakan penampilan selaku badut jalanan.

Di sudut Mal SCP. Tepat di samping pintu keluar. Aldi akan berdiri sambil menggerak-gerakkan tangan. Terkadang menggoyangkan pinggul. Mencoba bertingkah lucu, menarik perhatian kendaraan yang berlalu lalang.

Jasa SMK3 dan ISO

Tak lagi dipedulikannya butiran keringat sebesar biji jagung membanjiri wajahnya. Menyebabkan rasa panas, gerah, dan gatal. Sejatinya, Aldi benci terik matahari. Karena itu akan membuat kostum yang dikenakannya terasa pengap dan beraroma tajam. Laksana butiran jarum kecil menusuki kulit. Ia mengaku, rasanya sungguh tak tertahankan. Semua rasa ketidaknyamanan berkumpul menjadi satu.

Rasanya, ingin cepat-cepat dicampakkannya ke tanah. Dibuang dan dienyakkan. Kemudian memenuhi rongga paru-paru dengan udara segar dan menyejukkan. Namun, ia tak dapat serta merta melakukannya. Karena ada tanggung jawab yang harus dipenuhinya selaku badut di pinggir jalan.

Pantang Malu Jadi Badut Jalanan, Siasati Waktu Belajar Disela Bekerja

Aktivitas serupa telah dilakoni Aldi setahun terakhir. Keterbatasan perekonomian mendorongnya untuk bekerja paruh waktu jadi badut jalanan, meski masih duduk di bangku SMA.

“Ya gimana ya kak, soalnya orang tua kurang mampu. Jadi cari uang sendiri, sedangkan saya ingin punya motor. Jadi ya saya memilih kerja saja. Yang penting tidak mencuri,” tuturnya.

Dikatakannya, orangtuanya tidak terlalu mempermasalahkan pekerjaan yang dilakoninya saat ini. Selama halal dan tidak mengganggu tugas utamanya sebagai seorang pelajar.

“Kami kerjanya pakai shift. Setiap jam ganti-ganti orangnya. Jadi kadang waktu istirahat itu saya gunakan untuk mengerjakan tugas sekolah,” ucapnya.

Remaja berusia 16 tahun ini mengungkapkan, awalnya ia melakoni profesi itu lantaran ajakan seorang teman. Didorong rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemungkinan mendapat penghasilan, profesi tersebut dilakoninya hingga kini.

Terlebih, saat ini sekolah dilakukan secara daring. Untuk membunuh waktu berlebih yang yang ada, dipilihlah profesi tersebut. Dari pekerjaan paruh waktunya itu, paling tidak ia mampu membawa pulang penghasilan bersih sekitar puluhan ribu. Meski ia harus berkorban waktu, lantaran kerap pulang malam.

“Pembagiannya 60:40. Jadi kalau dapat Rp100 ribu, Rp60 ribu untuk bosnya, Rp40 ribu untuk saya. Kalau lagi sepi, biasanya pas hujan. Itu susah. Sekitar Rp50 ribu dapatnya. Kalau lagi rame di atas Rp100 ribu lah. Tapi tidak pernah sampai Rp200 ribu,” ungkapnya.

Dari Jadi Badut Jalanan Sampai Badut Acara Ulang Tahun Anak Dilakoni

Penghasilan yang diperolehnya sebagai badut jalanan akan cukup tinggi apabila ada penyewaan. Misal, untuk menghadiri acara ulang tahun dan sebagainya. Anak pertama dari dua bersaudara ini mengungkapkan, jika diundang ke acara seperti itu, maka ia akan dibayar sekitar Rp200 ribu hingga Rp250 ribu per jam.

Ia akan sangat bahagia apabila ada yang menyewa jasanya. Hal ini akan memungkinkannya memperoleh penghasilan lebih dalam waktu singkat. “Itu nanti dibagi lagi sama bosnya,” ujarnya.

Melakukan pekerjaan selaku badut di usia remaja, menurutnya, itu bukanlah hal yang memalukan. Terlebih, disaat anak seusianya mungkin saja tengah bermain bersama teman-teman sebaya. Memamerkan gadget terbaru yang dibelikan orang tua atau sekadar duduk dan bercengkrama di salah satu kafe atau tempat nongkrong di Kota Tepian.

Ia melakukannya lantaran tak ingin terlalu membebani orang tua, yang telah membanting tulang untuk biaya pendidikannya atau sekadar mengepulkan asap dapur. Kendati demikian, ia mengkui, rasa malu kerap menghantui ketika bertemu teman sekolah wanita. Apalah daya remaja yang tinggal di Loa Bakung ini. Walau bagaimanapun, ia hanya siswa yang masih dalam masa pertumbuhan.

Rasa malu itu secara tiba-tiba menghinggapi hatinya. Sehingga, secara reflek ia akan menundukkan pandangan. Serta mencoba beringsut mundur dari jalanan. “Biasanya begitu. Enggak tahu kenapa, reflek saya akan menundukkan pandangan agar tidak dikenali,” ujarnya. (*)

Penulis: Devi Nila Sari
Editor: Dirhanuddin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Back to top button