China Batasi Impor, Harga Jual Batu Bara Diprediksi Turun Pada 2020


Akurasi.id, Samarinda – Pemerintah Kaltim patutnya mewaspadai tren penurunan terhadap pertumbuhan ekonomi pada 2020. Lantaran, beberapa negara yang selama ini banyak mengimpor batu bara di Indonesia, kemungkinan besar akan mulai membatasi permintaan batu bara dengan berbagai alasan dan kebijakan ekonomi.
Baca Juga: Masyarakat Kaltim Perlu Bersiap, Pembangunan IKN Bakal Menyerap 16 Ribu Tenaga Kerja
Sebagai daerah yang menempatkan sektor pertambangan batu bara sebagai komoditas utama, Pemerintah Kaltim dinilai perlu mewaspadai itu. Supaya kasus anjloknya ekonomi Kaltim seperti yang terjadi pada 2016 lalu tidak kembali terulang lagi. Di mana saat itu, harga jual batu bara mendadak terjun bebas.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Kaltim Tutuk SH Cahyono menyebutkan, ekonomi Kaltim masih didominasi dari sektor pertambangan batu bara. Pada 2020, tren harga jual emas hitam tersebut diprediksi mengalami penurunan.
“Perkiraan seluruh lembaga internasional maupun nasional, dan kami juga di Bank Indonesia melihat bahwa masih ada tren penurunan harga batu bara pada tahun depan,” kata dia dijumpai awak media di ruang kerjanya, Senin (16/12/19) malam.
Tren penurunan harga jual batu bara itu, dikarenakan adanya restriksi atau pembatasan mekanisme impor yang diberlakukan di sejumlah negara, baik di Asia maupun Eropa. Misalnya oleh negara China, mereka diketahui sudah mulai berupaya untuk ke energi baru dan terbarukan (EBT). Sehingga mulai perlahan menurunkan mengimpor batu bara dari Indonesia.
“Tapi dari kajian mendalam kami melihat, kenapa China masih kuat sekali impor dari Indonesia pada 2019, itu karena mereka masih punya proyek listrik ke daerah-daerah pelosok atau terpencil yang masih menggunakan batu bara,” ungkapnya.
Proyek listrik masuk daerah pelosok yang sedang digalakkan China, membuat mereka masih begitu kuat mengandalkan batu bara sebagai sumber tenaga listrik. Meskipun sebelumnya, China telah berencana melakukan restriksi impor batu bara. Namun dalam perjalanannya, restriksi itu ternyata tidak begitu tinggi.
“Karena ada proyek listrik itu, makanya permintaan impor batu bara dari China masih cukup tinggi. Selain itu, ada musim dingin dan sebagainya, maka itu yang mendorong respons produksi masih cukup bagus. Ditambah lagi dengan cuaca yang mendukung di sini (Kaltim),” katanya.
Kendati demikian, Tutuk menyebutkan, ke depannya harga jual batu bara akan mulai turun. Karena restriksi sudah mulai terjadi pada 2020. Karenanya, dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Kaltim tidak akan setinggi 2019 yang mencapai di atas 6 persen. Walau begitu, tren penjualan batu bara pada triwulan I diperkirakan masih cukup positif nantinya.
“Sampai dengan triwulan I, tren penjualan harga batu bara masih positif dan baik. Ekspor memang menurun, tetapi masih positif kalau kami bilang. Awal tahun memang agak sedikit rendah permintaan. Tetapi ke pertengahan tahun, akan tinggi, tetapi tren harganya agak menurun,” jelasnya.
Sementara untuk permintaan crude palm oil (CPO), Tutuk melihat, prospeknya masih cuku bagus. Seperti negara India, dia melihat masih akan cukup tinggi mengimpor CPO dari Tanah Air. Dengan demikian, sektor perkebunan kelapa sawit di Kaltim diyakini masih cukup bagus sepanjang 2020.
“Kalau CPO kegiatan ekspornya masih cukup kuat. Hanya dengan Eropa saja yang sedikit bermasalah. Tetapi kebutuhan mereka cukup kecil. Hanya belasan persen. Jadi tidak begitu berpengaruh. Seperti Tiongkok, permintaan CPO juga cukup bagus,” tandasnya. (*)
Penulis/Editor: Dirhanuddin