Gelombang Penolakan Revisi UU KPK, RKUHP, dan Tuntutan Mahasiwa Kaltim yang Berakhir Rusuh


Akurasi.id, Samarinda – Elemen mahasiswa yang mengatasnamakan ‘Aliansi Kaltim Bersatu’ serempak turun ke jalan, Senin (23/9/19). Gelombang gerakan itu sebagai upaya mahasiswa Kaltim menolak berbagai pelemahan terhadap pemberantasan korupsi dan penindakan terhadap para pelakunya.
Aksi yang diawali dengan long march dari Masjid Islamic Center Samarinda menuju gedung DPRD Kaltim itu diikuti oleh ribuan mahasiswa. Baik dari organisasi intra maupun ekstra kampus yang ada di Kaltim, seperti dari Unmul, IAIN, Poltek dan Untang Samarinda.
Terdapat sejumlah poin tuntutan yang dibawa para mahasiswa. Dua di antaranya yang sedang serentak disuarakan di berbagai daerah di Indonesia, yakni menolak revisi UU KPK yang telah diketok anggota DPR RI sebelumnya, serta RKUHP yang kini sedang digodong.
Ada sejumlah alasan mahasiswa menyuarakan penolakan tersebut. Antara lain, UU KPK yang baru, dinilai sebagai wujud pelemahan terhadap upaya penindakan kasus tindak pidana korupsi. Salah satunya dengan dibentuknya Dewan Pengawas KPK.
Begitu juga dengan RKUHP, dianggap sebagai langkah mundur bagi penegakan hukum di Tanah Air. Salah satu yang dikritik para mahasiswa yakni adanya pasal pengkritik presiden dapat dipenjara 6 bulan. Pasal ini dinilai sebagai upaya pembungkaman terhadap proses berdemokrasi.
Salah seorang kader PMII Cabang Samarinda Imanuddin yang hadir dalam aksi itu, menyebutkan, revisi UU KPK adalah wujud nyata dari upaya pelemahan terhadap kasus tindak pidana korupsi. Melalui UU itu, KPK dibiarkan menjadi lembaga yang tidak independen lagi.
“KPK sekarang bekerja harus atas persetujuan dewan pengawas. Artinya, kemandirian dan independensi KPK sudah tidak ada lagi. Kalau sudah seperti itu, maka KPK akan susah melakukan penindakan korupsi. Otomatis, korupsi di DPR akan semakin menjamur,” kata dia.
Senada, Ketua HMI Cabang Samarinda Muhammad Agus pun mengkritik revisi UU KPK dan RKUHP. Selain karena tidak masuk program legislasi nasional (prolegnas), kedua UU itu syarat akan kepentingan dari para penguasa, elit politik, dan para koruptor.
“DPRD mengerjakan itu dalam waktu yang begitu cepat. Kami semua mencurigai kalau di balik itu ada tukar guling politik pasca Pilpres 2019. Belum selesai kita bicara pemindahan ibu kota negara dan persoalan karhutla, malah ini sudah grasak-grusuk merevisi UU KPK dan RKUHP,” katanya.
Dia menilai, antara revisi UU KPK dan RKUHP sangat berkesinambungan. Selain adanya pelemahan KPK secara terbuka, melalui RKUHP, para pelaku tindak pidana korupsi bakal mendapatkan banyak ruang kebebasan. “Ini kemunduran bagi hukum dan proses berdemokrasi,” ketusnya.
Aksi Mahasiswa Berakhir Ricuh

Aksi unjuk rasa penolakan revisi UU KPK dan RKUHP yang digelar mahasiswa di bawah aliansi Kaltim Bersatu, Senin (23/9/19) berakhir ricuh. Roman-roman kericuhan sudah mulai tampak sejak aksi digelar pada pukul 10.30 Wita.
Memasuki separuh hari, sekitar pukul 14.20 Wita, aksi dorong-dorongan antara mahasiswa dan kepolisian sempat terjadi. Tembakan gas air mata pun sempat terjadi beberapa kali. Begitu juga dengan tembakan air dari water canon sempat membubarkan aksi massa.
Kegigihan untuk menerabas ke dalam kantor DPRD Kaltim membuat para mahasiswa terus bertahan. Sekira pukul 16.00 Wita, aksi mahasiswa benar-benar pecah. Usaha mereka untuk masuk ke gedung DPRD mendapatkan hadangan dari kepolisian.
Mahasiswa yang berhasil menjatuhkan pagar gerbang membuat kepolisian mengambil langkah lanjutan dengan menembakan air dari water canon ke arah barisan mahasiswa yang disusul dengan tembakan gas air mata. Tak pelak, hal itu membuat mahasiswa lari berhamburan.
Pantauan media ini, pasca penembahan air dan gas air mata, sejumlah mahasiswa terlihat terjatuh pingsan. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan. Mendapati perlakuan demikian, membuat mahasiswa langsung bereaksi dengan ramai-ramai melemparkan batu ke arah kepolisian.
Aksi lempar batu yang dibalas tembakan air dan gas air mata itu berlangsung cukup lama. Sampai pada akhirnya mahasiswa memilih meredamkan aksinya. Tepat pukul 17.45 Wita, mahasiswa memutuskan untuk membubarkan diri.
“Kami datang ke sini (DPRD Kaltim) untuk menyampaikan keresahan kami terhadap prodak hukum yang melemahkan KPK dan penegakan hukum yang diperlemah di bangsa ini,” kata salah seorang mahasiswa dengan suara penuh kekesalan.
Kepolisian Klaim Sesuai SOP

Kapolres Samarinda Kombes Pol Vendra Riviyanto mengaku, pengamanan yang sudah dilakukan pihaknya telah sesuai standar operasional prosedur (SOP). Penembakan air di water canon hingga gas air mata adalah upaya dari lembaga yang dia pimpin untuk meredam aksi unjuk rasa yang kian memanas.
“Itu sudah sesuai SOP. Mahasiswa (pada awalnya) sudah diberikan (ruang untuk mengutus) beberapa perwakilan (menemui anggota DPRD, tetapi mereka tidak mau),” ucap Vendra ditemui di lokasi aksi.
Ketika disinggung terkait banyaknya mahasiswa yang terluka dan jatuh pingsan akibat terkena tembakan air dan gas air mata, Vendra pun mengklaim jika ada beberapa anak buahnya yang terluka akibat lemparan batu dari mahasiswa.
“Ada dua anggota saya yang terluka karena terkena lemparan batu. Tangan saya juga terluka karena terkena pukulan,” kata dia sembari menunjukan tangan kirinya yang mengalami memar.
Dari sisi massa aksi, Vendra menyebut, jumlah mahasiswa yang turun pada aksi itu hanya sekitar 800 orang. Tidak mencapai 2-3 ribu sebagaimana yang diklaim para mahasiswa. “Mereka enggak sampai ribuan, hanya 800 orang. kami siagakan personel ada 700 orang,” sebutnya.
Sementara itu, Jenderal Lapangan Aksi Kaltim Bersatu, Aulia Furqon, justru mengklaim, jika massa aksi yang turun mencapai 4 ribuan orang. Karena mereka tidak hanya berasal dari satu atau dua lembaga mahasiswa, tetapi puluhan lembaga, ditambah gabungan dari mahasiswa lintas kampus.
“Dari Unmul sendiri, kami menghimpun 1.800 orang mahasiswa. Ditambah dari kampus lain, jumlah kami hampir 4 ribuan orang. Aksi kami tidak hanya akan berhenti sampai di sini. Kami akan menghimpun masa hingga tiga kali lipat dari sekarang ini,” tegasnya.
Dia menyebutkan, ada banyak mahasiswa yang terluka dan jatuh pingsan akibat tembakan air dan gas air mata dari pihak kepolisian. Bahkan salah seorang koordinator lapangan aksi Kaltim Bersatu mengalami luka berat di bagian kepala setelah terkena pukulan dari kepolisian.
“Ada sekitar 10 orang anggota kami yang mengalami luka-luka sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Tetapi jumlah itu masih bisa bertambah lagi, karena kami masih melakukan pendataan. Banyak anggota kami yang perempun pingsan setelah terkena tembakan gas air mata,” ungkapnya.
Dewan Janji Suarakan ke Pusat
Anggota DPRD Kaltim Syafruddin mengaku cukup prihatin dengan aksi mahasiswa yang berakhir ricuh. Namun demikian, dia memahami dan menghargai itu sebagai wujud ekspresi mahasiswa atas tuntutan yang ingin mereka suarakan.
“Kami belum sempat mendengarkan tuntutan mereka, karena mereka tidak membuka ruang dialog. Kami tidak tahu mereka mau menyampaikan aspirasi apa ke dewan,” katanya.
Upaya menemui mahasiswa telah dilakukan Syafruddin dan beberapa anggota DPRD Kaltim yang lain. Hanya saja, upaya itu gagal setelah mahasiswa meminta agar mereka dibiarkan masuk ke dalam kantor DPRD Kaltim.
“Ada banyak anggota dewan yang mau temui. Hampir semua fraksi keluar untuk berdialog dengan teman-teman mahasiswa. Tapi mereka tidak membuka ruang dialog,” ujarnya.
Kendati demikian, pria yang karib disapa Udin ini mengaku, pada dasarnya, pihaknya akan menerima setiap aspirasi yang disampaikan mahasiswa. Menurutnya, apa yang menjadi kewenangan wakil rakyat Kaltim, semaksimal mungkin akan diupayakan untuk diselesaikan.
“Apa yang jadi kewenangan pemerintah pusat, maka akan kami sampaikan ke pusat. Kalau kapasitas menolak revisi UU KPK dan RKUHP, jelas itu bukan kewenangan di DPRD Kaltim. DPRD tidak berkapasitas merevisi dan melahirkan UU, tetapi hanya sebatas perda,” tegasnya. (*)
Penulis/Editor: Yusuf Arafah