Selama Setahun Terakhir, Ada 629 Calon Janda dan Duda Baru di Kota Bontang


Persoalan ekonomi memang acap kali dapat memicu banyak persoalan. Tidak terkecuali masalah perceraian. Di Bontang, dari ratusan kasus perceraian, hampir 80 persen dipicu perkara ekonomi. Imbasnya, 2021 ini, ada 629 calon janda dan duda di Bontang.
Akurasi.id, Bontang – Kasus perceraian demi perceraian seakan sudah menjadi hal lumrah yang banyak dilakukan banyak suami-istri di era dewasa ini. Bahkan menyandang status calon janda dan duda sudah menjadi bagian dari tren hidup. Wajar jika kemudian setiap pasangan dengan mudah mengajukan gugatan perceraian.
Contohnya saja di Kota Bontang. Dalam beberapa tahun terakhir, angka perceraian di daerah yang dikenal dengan Kota Taman ini, bahkan seolah tumbuh begitu subur. Musababnya pun bisa dibilang cukup beragam. Dari persoalan ekonomi, hadirnya orang ketiga dalam rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga persoalan remeh temeh lainnya.
Jika menilik data perceraian tahun 2020 lalu yang dihimpun Akurasi,id, setidaknya terdapat 629 perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama (PA) Kota Bontang. Terdiri dari 144 permohonan dan 469 gugatan cerai.
Dari jumlah gugatan cerai, 350 cerai gugat dan 119 cerai talak. Angka itu mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2019, perkara yang diterima PA Kelas II Bontang sebanyak 621 perkara. 493 perkara gugat, dan 128 permohonan. Artinya, terjadi penambahan 8 pengajuan cerai di tahun 2020.
Bila bercermin pada data itu, artinya, ada 629 suami dan istri di Kota Taman yang berpotensi menyandang status calon janda dan duda baru. Bahkan sebagian di antaranya, kini tinggal menunggu keputusan akhir dari proses persidangan perceraian yang mereka jalani.
Sementara di semester pertama 2021 terhitung Januari-Juli, PA Kelas II Bontang menerima setidaknya 397 perkara. Dari angka itu, ada 292 pengajuan cerai. Terdiri dari 220 cerai gugat, dan 72 cerai talak.
Humas Pengadilan Agama (PA) Kelas II Bontang, Anton Taufiq Hadiyanto mengatakan, dari sekian perkara, sebanyak 80 persen disebabkan faktor ekonomi, sementara 20 persen yakni kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Rata-rata suami yang digugat karena tak mencukupi nafkah,” katanya kepada Akurasi.id belum lama ini. Meski demikian, melalui tahap mediasi terdapat pula pasangan suami istri (pasutri) urungkan niat bercerai. Akan tetapi, kata Anton, jumlahnya tidak banyak. (*)
Penulis: Fajri Sunaryo
Editor: Redaksi Akurasi.id